Ipda Nanik saat mengevakuasi salah satu pasien gangguan jiwa terpasung, untuk mendapat perawatan yang lebih layak di ruamh sakit (matakamera/istimewa) |
Kamis, 7 Januari 2016 | by Panji Lanang Satriadin
matakamera, Nganjuk - Inspektur Polisi Dua (Ipda) Nanik Yuliati sudah tiga tahun bertugas sebagai Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas), di Kelurahan Warujayeng, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Kelurahan yang juga menjadi kampung tempat tinggalnya itu, kini menjadi salah satu wilayah padat penduduk di Nganjuk. Karenanya, banyak permasalahan sosial yang dihadapi polwan 40 tahun ini sehari-hari. Salah satunya, para penderita gangguan jiwa yang tidak mendapat pengobatan layak, karena kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan.
Dengan tugas sehari-hari yang lebih banyak di lapangan, membuat Nanik bisa menjumpai masalah sosial yang beragam di tengah masyarakat. Selain tugas utama seperti pengungkapan narkoba, mengamankan lalu-lintas, atau mengurusi kasus-kasus kriminal umum, Nanik diam-diam telah menjadi tokoh penggerak program Jawa Timur Bebas Pasung yang dicanangkan Gubernur sejak 2014. Aksi itu telah dilakukan selama sekitar setahun terakhir, sejak Juni 2014.
Sesuai tempat tugasnya di Kecamatan Tanjunganom, Nanik sejak awal lebih banyak membebaskan para penderita gangguan jiwa yang dipasung di wilayah setempat. Sampai akhir 2015, tercatat sudah 32 pasien yang sudah ditanganinya. Bahkan, ada yang berasal dari luar Kecamatan Tanjunganom. Sebagian besar dipasung di dalam rumah maupun, namun ada pula yang ditemukannya berkeliaran di jalanan. “Bagi masyarakat sini, pasung jadi semacam kebiasaan. Terutama bagi penderita gangguan jiwa yang dianggap berbahaya, seperti sering mengamuk, misalnya,” kata Nanik.
Semua berawal saat Nanik diminta sang atasan untuk mendata korban pasung di wilayah tugas masing-masing. Setelah menghimpun data awal, Nanik lalu mendatangi satu persatu rumah mereka. Dari situlah, nurani Nanik terketuk melihat perlakuan yang dinilainya tidak manusiawi. Rata-rata korban pasung dirantai pada kedua kaki atau tangannya, lalu ditempatkan di kamar khusus yang dikunci gembok dari luar. “Saya langsung nggak tega. Apalagi jika yang dipasung itu anaknya sendiri, oleh orangtua kandungnya sendiri,” ujar Nanik. Perasaan sensitif itu langsung terasa, karena selama bertahun-tahun dia memang menjadi single parent bagi ketiga putra-putrinya, masing-masing Reza Septiandra Bakti, Bima Novrizal dan Sinta Dewi Permata Sari. Suaminya yang juga seorang polisi di Polres Nganjuk, Almarhum Bripka Juyitno, sudah meninggal dunia bertahun-tahun lalu karena sakit kronis.
Karena dorongan itu, bulatlah tekad Nanik untuk membebaskan orang-orang ini dari rantai pasung. Dia awalnya mendekati keluarga korban pemasungan. Namun, pendekatan awal yang dilakukannya tidak langsung berjalan mulus dan sering mendapatkan penolakan. Sekali datang dan mediasi dia masih gagal. Dua kali mediasi juga tidak membuahkan hasil. “Sampai tiga kali ditolak, baru kemudian baru diizinkan,” urai Nanik.
Berikutnya, para korban pasung yang sudah dibebaskan kemudian dibawanya ke sejumlah rumah sakit jiwa (RSJ) untuk mendapat perawatan lebih layak. Belasan pasien yang sudah ditangani oleh Nanik itu semuanya berasal dari keluarga tidak mampu, sehingga mereka mustahil membiayai sendiri pengobatan di rumah sakit. “Kebanyakan penyebab gangguan jiwa juga karena masalah ekonomi, seperti utang yang menumpuk,” imbuhnya.
Pernah Dibanting Pasien Pria Sampai Pingsan
Hingga kini, sudah belasan pasien yang dinyatakan sembuh total. Mereka bahkan sudah kembali ke tengah masyarakat. Tugas Nanik pun ternyata masih belum berhenti, karena dia juga harus tetap melakukan pemantauan terhadap korban yang sudah kembali ke masyarakat. Salah satunya dengan membujuk pasien untuk rutin mengonsumsi obat. “Karena bisa kambuh lagi kalau pengobatan tidak teratur,” ujar Nanik.
Salah satunya Romain, 40, pria asal Desa Sumberkepuh, Kecamatan Tanjunganom. Romain juga lah, yang menjadi korban pertama yang diselamatkan Nanik sekitar setahun lalu. Setelah menjalani perawatan di RSJ Menur Surabaya, dia kini sudah bisa berkomunikasi normal. Dia yang ternyata hobi berat memelihara ayam, kini juga langsung sibuk memelihara beberapa ekor ayam hasil sumbangan Kapolres Nganjuk. “Saya juga rutin mengontrol aktivitasnya beternak ayam. Karena itu bisa jadi terapi khusus yang bisa mempercepat kesembuhannya secara total,” ujar polwan yang sudah bertugas di Polres Nganjuk sejak 2000 tersebut.
Pengalaman lain di masa-masa awal Nanik ‘berburu’ korban pasung, adalah ketika dia mulai merambah wilayah di luar Kecamatan Tanjunganom. Setiap melakukan aksi sosial tersebut, tidak jarang Nanik mengalami kejadian-kejadian unik dan mengejutkan. Contohnya, ketika Suwarno, salah satu pasien asal Desa Pacewetan, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk, mencoba berontak dan berusaha melawan ketika hendak dilepaskan. Saat itu, Nanik mengunjungi rumahnya bersama Kapolres AKBP Anggoro Sukartono, para perwira dan puluhan anggota, lengkap dengan tim medis kepolisian yang dikerahkan khusus untuk evakuasi para korban pasung. Melihat ulah Suwarno yang terus-menerus melawan, pria yang sudah tiga tahun mengalami gangguan jiwa itu terpaksa tiga kali mendapat suntikan obat penenang. “Baru bisa melunakkan si pasien,” imbuh Nanik.
Di hari yang sama, di Desa Juwet, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, Nanik lagi-lagi dikejutkan ulah Muhammad Abas, 28, pemuda yang sudah enam tahun terakhir mengidap gangguan jiwa. Pemuda lajang itu tiba-tiba meneriakkan kalimat takbir, “Allahu Akbar!” sambil mengepalkan kedua tangan ke udara, begitu Nanik dan beberapa anggota polisi pria melepas rantai pasung yang melilit kedua kakinya. Seketika seluruh keluarganya pun menangis haru melihat Abas punya harapan sembuh.
Bagi Nanik, ekspresi spontan pria yang pernah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia itu muncul dari hari nuraninya karena telah ‘bebas’, meskipun dia kini mengalami gangguan jiwa. Sebelumnya selama sebulan dia kerap mengamuk, sehingga keluarga terpaksa mengikat kedua kakinya dengan rantai besar. “Saya pernah dibanting sampai semaput (pingsan),” ucap Nanik menirukan pengakuan Sutini, 55, ibu kandung Abas saat itu. Upaya pengobatan alternatif tidak menyembuhkannya, dan justru membuat penyakit Abas semakin parah. Sang ibu pun sampai putus asa mencari cara menyembuhkan anak kesayangannya tersebut. Sehingga, dia pasrah saat Nanik membawa putranya yang akan mendapatkan pengobatan cuma-cuma di rumah sakit.
Single Parent, Ipda Nanik Dituntut Bijak Bagi Waktu
Sampai kini, Nanik tidak mengenal kata menyerah untuk terus melakukan aksi sosial terhadap pasien gangguan jiwa. Karena itu, ibu tiga orang anak itu merasa juga harus pintar-pintar membagi waktu. Yakni, antara urusan pekerjaan rutin kepolisian, tugas khusus mengurusi pasien gangguan jiwa, dan waktu untuk keluarganya di rumah. Tugas tambahan itu diakui Nanik memang semakin menyita waktunya di-luar rumah, namun kini sudah bisa diaturnya dengan baik. “Anak-anak saya awalnya mengeluhkan karena waktu saya lebih sedikit di rumah. Tapi akhirnya mereka memahami setelah saya beri penjelasan baik-baik,” ujarnya.
Dalam mencari calon pasien yang akan ditangani, Nanik yang awalnya mendapatkan informasi dari warga, langsung menindalkanjuti dengan mendatangi di rumah. Yang agak merepotkan, jika yang dicari tidak dipasung, melainkan berkeliaran di jalanan. Sampai-sampai, Nanik harus meluangkan waktu di sela tugas rutinya, untuk berkeliling kampung mengendarai sepeda motor mencari sasaran ‘target’.
Seperti pada Maret 2015 lalu, saat dia menangani Tumiran, 40, pria penderita gangguan jiwa asal Lingkungan Pengkol, Kelurahan Warujayeng, Kecamatan Tanjunganom. Sudah sekitar lima tahun terakhir, Tumiran yang ternyata mantan anggota polisi di Polres Pekanbaru tersebut mengalami gangguan jiwa. Dia kerap kabur dari rumah dengan membawa sebilah sabit, sehingga sering membuat warga sekitar was-was. Karena itu, Nanik berinisiatif mencari Tumiran selama seharian dan akhirnay diemukan di tengah sawah lingkungan setempat, dengan sebilah sabit di tangan. “Karena pasien bawa sabit, saya harus minta bantuan Pak Babinsa dari TNI untuk membawa pulang Tumiran,” kenang Nanik.
Kapolsek Warujayeng, Kompol Abraham, atasan Nanik, juga sangat memahami tugas khusus yang harus dilakukan anggota polwannya tersebut. Karena itu, sang kapolsek cenderung membebaskan Nanik jika sewaktu-waktu meninggalkan tugas resmi karena harus berkeliling mengejar atau mencari calon pasien yang berkeliaran di kampung. “Kami justru yang ikut memback up, sama-sama mencari menggunakan mobil patroli,” ujar Thomas.
Aksi terbarunya dilakukan pada 1 Agustus lalu, saat dia sukses membawa lima orang warga yang mengalami gangguan jiwa, masing-masing Slamet, 38, pria asal Desa Sonobekel, Kecamatan Tanjunganom, Suwarso, 40, pria asal Desa Sumberkepuh, Kecamatan Tanjunganom, Sawal, 38, pria asal Lingkungan Pengkol, Kelurahan Warujayeng, Kecamatan Tanjunganom, Luwarlik, 34, wanita asal Lingkungan Pengkol, Kelurahan Warujayeng, Kecamatan Tanjunganom, dan Sukarno, 39, pria asal Desa Kedungrejo, Tanjunganom. Kelimanya kini sudah dalam perawatan di RSJ Dr.Radjiman Wedyodiningrat Lawang, Kabupaten Malang.
Atas jasanya itu, Nanik mendapat penghargaan bergengsi Polisi Masyarakat (Polmas) Award 2015, yang diberikan oleh Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti, dan Kapolda Jatim. Bahkan, sosoknya juga mencuri perhatian Menteri Sosial (Mensos) Ri saat berkunjung ke Kabupaten Nganjuk pada pertengahan 2015 lalu. Saat itu selain bertatap muka langsung dengan sang menteri, Ipda Nanik juga langsung diusulkan oleh Mensos RI untuk menerima penghargaan dari Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) 2015. (ab/Panji Lanang Satriadin)
Lihat : Profil Redaksi Matakamera Nganjuk
0 komentar:
Post a Comment