Situs Kartoharjo diteliti oleh tim Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Nganjuk sejak ditemukan tahun 1995 silam. Lokasi tepatnya berada di Lingkungan Pungon. Situs kemudian dieskavasi oleh Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Mojokerto pada tahun 2002. "Situs itu dulu ditemukan secara tidak sengaja, karena adanya pembangunan tower BTS salah satu operator seluler," tutur Kepala Seksi (Kasie) Sejarah, Seni Tradisi, Museum dan Kepurbakalaan Disbupdar Nganjuk Amin Fuadi.
Waktu itu, lanjut Amin, pekerja yang melakukan penggalian pondasi tower menemukan bata-bata kuno, lalu dilaporkan ke kantor kelurahan diteruskan ke Disbudpar Nganjuk. Proyek tower seluler pun dihentikan, dan selanjutnya Disbudpar Nganjuk menghubungi BPCB Trowulan yang saat itu masih bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) untuk melakukan penelitian dan eskavasi.
Selain batu-bata kuno, ditemukan beberapa benda kuno lain seperti mata uang Cina dengan diameter 2,5 sentimeter berlubang tengahnya, fragmen keramik dari dinasti Yuan dari abad 13 dan 14, gerabah dan kereweng serta struktur dinding bata yang membujur ke arah utara-selatan. Potongan-potongan benda itu dinilai memiliki kemiripan dengan beberapa temuan di sekitar Situs Jatirejo.
Selain itu, juga ditemukan sumber air bawah tanah yang sudah tidak seberapa besar keluarnya. "BPCB lantas membuat kesimpulan, bahwa situs Kartoharjo adalah situs temuan baru yang diperkirakan adalah sebuah petirtan atau pemandian, yang harus dilindungi oleh UU no 11 tahun 2010 tentang cagar budaya," urai Amin. Periodesasinya dari zaman Kerajaan Majapahit sekitar abad 13 – 15, dan menurutnya perlu mendapat perhatian dari Pemkab Nganjuk secara lebih intensif, yang selanjutnya bisa dilakukan penelitian dan pengembangan untuk pemanfaatannya.
Lebih lanjut Amin mengatakan, bahwa jarak antara lokasi Situs Jatirejo dan Situs Kartoharjo hanya sekitar 250 meter. Karena itu bisa diperkirakan keduanya saling terkait. Menurut Amin, jenis umpak di Jatirejo yang sangat besar dengan diameter 40 sentimeter, berfungsi untuk menopang tiang yang besar pula sesuai besar lubang umpak. Bangunan yang memungkinkan adalah sebuah pendopo yang biasanya menopang balok tumpangsari dalam bangunan joglo Jawa," ujarnya.
Itulah sebabnya, Tim Disbudpar Nganjuk kini berupaya menemukan sisa umpak yang masih terpendam di dalam tanah. Ukuran bangunan joglo pendopo yang bisa dimungkinkan adalah minimal dengan panjang dan lebar masing-masing 16 meter, belum termasuk dengan rumah induk.
Hal ini disebutnya juga sejalan dengan cerita rakyat setempat, di mana terdapat sumur kuno yang hingga kini masih dipakai turun temurun, dan sering dipakai sesaji jika ada hajatan berjarak sekitar 50 meter dari Situs Jatirejo. "Sehingga kami meyakini situs Jatirejo ada hubungannya dengan situs Kartoharjo. Cukup beralasan karena jenis dan ukuran batu bata yang sama, begitu pula dengan beberapa pecahan gerabah dan keramik," tukas Amin.
Terlepas dari itu menurut Amin, pemanfaatan situs Kartoharjo maupun situs Jatirejo sebagai salah satu bagian obyek wisata budaya penting untuk direalisasikan. Mengingat, saat ini di sekitarnya sudah ada hutan kota dan taman. "Kejelian dalam memanfaatkan potensi yang ada sebagai daya tarik wisata, tentu menjadi tugas para pemangku kepentingan di Nganjuk, " pungkasnya.(ab)
(Panji Lanang Satriadin)
0 komentar:
Post a Comment