by Panji Lanang Satriadin
matakamera, Nganjuk – Sejak dahulu, Kabupaten Nganjuk memiliki dua ‘penjaga’ yang dipercaya memiliki nilai spiritual tinggi. Wujudnya adalah pusaka bernama Tombak Kiai Jurang dan Payung Kiai Tunggul Nogo.
Setahun sekali, setiap perayaan hari jadi kabupaten ini, dua pusaka penting itu diboyong dari ‘keraton’ lama di selatan, yakni bekas pusat pemerintahan Nganjuk di kawasan Alun-Alun Berbek. Kiai Jurang dan Kiai Tunggul Nogo diarak sejauh 10 kilometer ke utara, menuju singgasana baru di sisi barat Alun-Alun Nganjuk.
Ritual boyongan Kabupaten Nganjuk sudah menjadi tradisi rutin untuk memperingati hari jadi kabupaten ini. Seperti yang berlangsung pada Ahad pagi 9 April 2017, untuk memperingati Hari Jadi Kabupaten Nganjuk ke-1080 tanggal 10 April 2017.
Namun, prosesi itu tetap menjadi ritual sakral dan bermakna mendalam bagi masyarakat Nganjuk, sampai saat ini.
Boyongan tahun ini agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Bupati Nganjuk Taufiqurrahman yang biasanya menaiki kereta sebagai panglima, kali ini digantikan Pelaksana Tugas (Plt) Sekda Nganjuk goes Soebagijo. Iring-iringan peserta pawai boyongan menempuh perjalanan 10 kilometer dari arah Berbek di selatan, sampai ke Alun-Alun Nganjuk di mana Bupati dan Wakil Bupati sudah menunggu. Berbagai komponen masyarakat dan pejabat terlibat.
Arak-arakan kemudian dilanjutkan sampai ke Pendopo Kabupaten Nganjuk, sebagai singgasana pemerintah yang baru hingga kini. “Tradisi boyongan merupakan agenda yang terus dilestarikan. Karena selain bersejarah, juga bisa menambah daya minat wisatawan dari luar,” ujar Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, usai prosesi.
Ribuan masyarakat yang menonton pun tampak terkesan. Apalagi kini mereka bisa melihat langsung seluruh peserta boyong, termasuk sampai prosesi sakral serah terima pusaka Kiai Jurang dan Kiai Tunggu Nogo.(ab/ads/2017)
Profil Redaksi MATAKAMERA.NET
0 komentar:
Post a Comment