Ahad 13 Januari 2019
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Desa nomor 06 tahun 2014, tata kelola pemerintahan desa berubah secara luar biasa. Baik pada struktur organisasi pemerintahan desa maupun program yang tertuang dalam RPJMDes.
Bagaimana tidak. Sekarang ini, masing-masing desa di seluruh Indonesia telah dikucurkan dana yang yang luar biasa banyak dari berbagai sumber. Paling tidak, masing-masing desa mengelola empat sumber keuangan, yaitu dana desa (DD) dari pemerintahan pusat, alokasi dana desa (ADD) dari pemerintah daerah, kemudian dana bagi hasil pajak dan bagi hasil retribusi.
Total dana yang dikelola dalam APBDes tidak kurang dari tiga miliar setiap tahunnya bahkan untuk daerah tertentu ada yang sampai enam miliar.
Dengan banyaknya dana yang dikucurkan oleh pemerintah kepada desa, harapannya di desa tersebut terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sehingga, pada akhirnya, masyarakat desa memiliki banyak peluang untuk membangun usaha. Karena, perputaran dana yang ada di desa menjadi semakin banyak.
Hal ini sangat masuk akal, karena aturan main dalam penggunaan dana APBDes telah diatur sedemikian rupa, agar dana yang jumlahnya miliaran rupiah tersebut tidak keluar dari desa.
Sebagai contoh, jika pemerintah desa ingin melakukan pembangunan fisik, maka harus dikerjakan dengan pola padat karya. Belanja bahan bakunya harus tetap di toko-toko yang ada di desa tersebut.
Belum lagi dengan program pemberdayaan masyarakat yang mendapat porsi paling banyak dalam program pembangunan, yang tertuang dalam APBDes.
Mencermati tata kelola pemerintahan desa seperti itu, sangat wajar jika banyak pihak berharap, bahwa program tersebut dapat berjalan sesuai harapan. Tetapi sayang, sampai memasuki tahun ke lima, harapan tinggal harapan.
Adapun penyebabnya ada beberapa faktor diantaranya:
1. Program yang terlaksana di desa mayoritas masih fokus kepada program fisik, yaitu membangunan sarana dan prasarana sedangkan program petmberdayaan masyarakatkan masih jalan ditempat.
2. Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh pemerintah desa masih belum memadai untuk meng-cover terlaksananya program pemberdayaan masyarakat. Sehingga, setiap tahun dana yang dikelola oleh desa tidak dapat diserap secara maksimal dan menjadi dana silpa.
3. Belum terlaksananya pendampingan dari OPD terkait, dalam membantu desa membuat program- program strategis berdasarkan potensi yang dimiliki oleh desa. Memang saat ini ada pendamping desa yang diangkat oleh kementerian Desa, tetapi sejauh ini perannya belum terlihat nyata karana tidak ada garis koordinasi baik dengan OPD terkait.
Alhasil, dana yang dikelola oleh desa sebegitu besar tetapi tidak dibarengi dengan pengelolaan dan koordinasi yang baik maka sampai sekarang masyarakat desa yang diharapkan bisa aman dan terjamin tinggal di desa belum berdampak segnifikan dan yang terjadi tetap saja masih banyak orang yang keluar dari desanya untuk mencari pekerjaan di kota bahkan menjadi TKI.
Peluang telah diberikan dengan mengucurkan banyak dana. Harapannya membangun Indonesia dari pinggir dan desa hanya bisa terujud jika semua stakeholder mampu berkoordinasi dan sinkronisasi program masing- masing demi mengangkat derajat masyarakat pedesaan yang masih belum berdaya ditengah kucuran dana yang melimpah.
*Penulis adalah seorang pemerhati desa, tinggal di Batu, Jawa Timur
Oleh : Rosihan*
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Desa nomor 06 tahun 2014, tata kelola pemerintahan desa berubah secara luar biasa. Baik pada struktur organisasi pemerintahan desa maupun program yang tertuang dalam RPJMDes.
Bagaimana tidak. Sekarang ini, masing-masing desa di seluruh Indonesia telah dikucurkan dana yang yang luar biasa banyak dari berbagai sumber. Paling tidak, masing-masing desa mengelola empat sumber keuangan, yaitu dana desa (DD) dari pemerintahan pusat, alokasi dana desa (ADD) dari pemerintah daerah, kemudian dana bagi hasil pajak dan bagi hasil retribusi.
Total dana yang dikelola dalam APBDes tidak kurang dari tiga miliar setiap tahunnya bahkan untuk daerah tertentu ada yang sampai enam miliar.
Dengan banyaknya dana yang dikucurkan oleh pemerintah kepada desa, harapannya di desa tersebut terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sehingga, pada akhirnya, masyarakat desa memiliki banyak peluang untuk membangun usaha. Karena, perputaran dana yang ada di desa menjadi semakin banyak.
Hal ini sangat masuk akal, karena aturan main dalam penggunaan dana APBDes telah diatur sedemikian rupa, agar dana yang jumlahnya miliaran rupiah tersebut tidak keluar dari desa.
Sebagai contoh, jika pemerintah desa ingin melakukan pembangunan fisik, maka harus dikerjakan dengan pola padat karya. Belanja bahan bakunya harus tetap di toko-toko yang ada di desa tersebut.
Belum lagi dengan program pemberdayaan masyarakat yang mendapat porsi paling banyak dalam program pembangunan, yang tertuang dalam APBDes.
Mencermati tata kelola pemerintahan desa seperti itu, sangat wajar jika banyak pihak berharap, bahwa program tersebut dapat berjalan sesuai harapan. Tetapi sayang, sampai memasuki tahun ke lima, harapan tinggal harapan.
Adapun penyebabnya ada beberapa faktor diantaranya:
1. Program yang terlaksana di desa mayoritas masih fokus kepada program fisik, yaitu membangunan sarana dan prasarana sedangkan program petmberdayaan masyarakatkan masih jalan ditempat.
2. Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh pemerintah desa masih belum memadai untuk meng-cover terlaksananya program pemberdayaan masyarakat. Sehingga, setiap tahun dana yang dikelola oleh desa tidak dapat diserap secara maksimal dan menjadi dana silpa.
3. Belum terlaksananya pendampingan dari OPD terkait, dalam membantu desa membuat program- program strategis berdasarkan potensi yang dimiliki oleh desa. Memang saat ini ada pendamping desa yang diangkat oleh kementerian Desa, tetapi sejauh ini perannya belum terlihat nyata karana tidak ada garis koordinasi baik dengan OPD terkait.
Alhasil, dana yang dikelola oleh desa sebegitu besar tetapi tidak dibarengi dengan pengelolaan dan koordinasi yang baik maka sampai sekarang masyarakat desa yang diharapkan bisa aman dan terjamin tinggal di desa belum berdampak segnifikan dan yang terjadi tetap saja masih banyak orang yang keluar dari desanya untuk mencari pekerjaan di kota bahkan menjadi TKI.
Peluang telah diberikan dengan mengucurkan banyak dana. Harapannya membangun Indonesia dari pinggir dan desa hanya bisa terujud jika semua stakeholder mampu berkoordinasi dan sinkronisasi program masing- masing demi mengangkat derajat masyarakat pedesaan yang masih belum berdaya ditengah kucuran dana yang melimpah.
*Penulis adalah seorang pemerhati desa, tinggal di Batu, Jawa Timur
0 komentar:
Post a Comment