Ahad 20 Januari 2019
Desa merupakan sebuah wilayah administrasi, yang memiliki otonomi dalam tata kelola pemerintahannya. Dengan otonomi tersebut, kepala desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), harus mampu menyusun regulasi dan program, sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh desa tersebut.
Sepintas, memang sangat menguntungkan. Karena, pemerintahan desa dapat leluasa mengatur wilayahnya sendiri. Lain halnya dengan kelurahan yang otonominya sangat terbatas. Dikendalikan oleh pemerintahan di atasnya.
Kenyataannya, dengan diberikan otonomi yang luas seperti itu, ternyata persoalan pembangunan yang terjadi di desa menjadi sangat kompleks. Pemerintahan desa kesulitan dalam memaksimalkan penggunaan anggaran tersebut.
Kondisi ini sejatinya sangat memerlukan keikutsertaan pemangku kepentingan, untuk peduli dan dengan sukarela, mau membantu memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan desa.
Kita mendengar, bahwa pemerintah setiap tahunnya menaikkan kucuran dana desa. Sehingga, dengan berbagai sumber pembiayaan yang dimiliki oleh desa, keuangan desa menjadi meningkat drastis.
Ada sebuah analogi yang baik dalam menggambarkan persoalan desa tersebut :
Saya teringat seorang teman, setelah selesai kuliah, dia terobsesi untuk menjadi pengusaha. Karena merasa punya harta warisan yang banyak, nekat pulang kampung untuk menjual hartanya, dan dibawa ke kota sebagai modal usaha.
Sayangnya dengan modalnya banyak tersebut dia belum punya program yang jelas sebagai dasar membangun usahanya. Alhasil dalam waktu dua tahun usaha yang dicita-citakan tersebut belum terlaksana sementara modal yang miliki habis untuk kebutuhannya.
Analogi di atas persis seperti yang terjadi di kebayakan desa. Desa sudah memiliki dana yang besar, tetapi prioritas apa yang harus dibangun di desa terkadang bingung. Hal ini terjadi karena pemerintahan desa tidak memiliki visi yang jelas. Sehingga, RPJMDes-nya tersusun tanpa arah.
‘Wajah’ desa dalam satu periode pemerintahan akan seperti apa, tidak dapat tergambarkan. Imbasnya, program tahunan yang berupa RKP dibuat berdasarkan program yang memiliki kode rekening saja, bukan berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya, pertama, sumberdaya daya manusia yang ada di desa masih banyak yang kurang memadai. Kedua, tingkat pertisipasi masyarakat dalam membantu pembangunan desa masih rendah. Ketiga, tahapan dan mekanisme dalam membuat perencanaan pembangunan desa masih “perangkat sentris”, belum “masyarakat sentris”.
Kondisi semacam ini ,semestinya juga menjadi perhatian para caleg sehingga simbiosis mutualis dapat terjadi dengan baik.
Caleg butuh suara masyarakat untuk bisa menjadi anggota DPRD. Di sisi lain, masyarakat punya harapan besar tentang kesejahteraannya, karena caleg tersebut mampu membuat program yang bersinergi antara kota atau kabupaten dengan program yang ada di desa.
Selain itu, caleg tersebut juga mampu memaparkan segala persoalan pembangunan desa, baik itu pembangunan fisik, ekonomi maupun pembinaan masyarakat.
Kemudian, dari persoalan tersebut, jika dia dipercaya untuk menjadi wakil rakyat, akan fokus menyelesaikannya, dengan cara memaksimalkan fungsinya sebagai anggota dewan.
Masyarakat sebenarnya sudah tidak tertarik dengan berbagai kalimat manis yang tertulis pada banner di sepanjang jalan, seperti “siap jungkir balik membela kepantingan rakyat”, atau “amanah, bersih, tidak korupsi”.
Kata-kata tersebut sangat klise. terlalu memposisikan diri sebagai orang suci. Padahal, yang dibutuhkan oleh rakyat adalah program SMART, yaitu specific, measurable( terukur), achievable (diterima), realistic (masuk akal), dan timebound (ada batas waktu).
*Penulis adalah seorang pemerhati desa, tinggal di Kota Batu, Jawa Timur. Lihat Facebook >> Rosihan
Oleh : Rosihan*
Sepintas, memang sangat menguntungkan. Karena, pemerintahan desa dapat leluasa mengatur wilayahnya sendiri. Lain halnya dengan kelurahan yang otonominya sangat terbatas. Dikendalikan oleh pemerintahan di atasnya.
Kenyataannya, dengan diberikan otonomi yang luas seperti itu, ternyata persoalan pembangunan yang terjadi di desa menjadi sangat kompleks. Pemerintahan desa kesulitan dalam memaksimalkan penggunaan anggaran tersebut.
Kondisi ini sejatinya sangat memerlukan keikutsertaan pemangku kepentingan, untuk peduli dan dengan sukarela, mau membantu memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan desa.
Kita mendengar, bahwa pemerintah setiap tahunnya menaikkan kucuran dana desa. Sehingga, dengan berbagai sumber pembiayaan yang dimiliki oleh desa, keuangan desa menjadi meningkat drastis.
Ada sebuah analogi yang baik dalam menggambarkan persoalan desa tersebut :
Saya teringat seorang teman, setelah selesai kuliah, dia terobsesi untuk menjadi pengusaha. Karena merasa punya harta warisan yang banyak, nekat pulang kampung untuk menjual hartanya, dan dibawa ke kota sebagai modal usaha.
Sayangnya dengan modalnya banyak tersebut dia belum punya program yang jelas sebagai dasar membangun usahanya. Alhasil dalam waktu dua tahun usaha yang dicita-citakan tersebut belum terlaksana sementara modal yang miliki habis untuk kebutuhannya.
Analogi di atas persis seperti yang terjadi di kebayakan desa. Desa sudah memiliki dana yang besar, tetapi prioritas apa yang harus dibangun di desa terkadang bingung. Hal ini terjadi karena pemerintahan desa tidak memiliki visi yang jelas. Sehingga, RPJMDes-nya tersusun tanpa arah.
‘Wajah’ desa dalam satu periode pemerintahan akan seperti apa, tidak dapat tergambarkan. Imbasnya, program tahunan yang berupa RKP dibuat berdasarkan program yang memiliki kode rekening saja, bukan berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya, pertama, sumberdaya daya manusia yang ada di desa masih banyak yang kurang memadai. Kedua, tingkat pertisipasi masyarakat dalam membantu pembangunan desa masih rendah. Ketiga, tahapan dan mekanisme dalam membuat perencanaan pembangunan desa masih “perangkat sentris”, belum “masyarakat sentris”.
Kondisi semacam ini ,semestinya juga menjadi perhatian para caleg sehingga simbiosis mutualis dapat terjadi dengan baik.
Caleg butuh suara masyarakat untuk bisa menjadi anggota DPRD. Di sisi lain, masyarakat punya harapan besar tentang kesejahteraannya, karena caleg tersebut mampu membuat program yang bersinergi antara kota atau kabupaten dengan program yang ada di desa.
Selain itu, caleg tersebut juga mampu memaparkan segala persoalan pembangunan desa, baik itu pembangunan fisik, ekonomi maupun pembinaan masyarakat.
Kemudian, dari persoalan tersebut, jika dia dipercaya untuk menjadi wakil rakyat, akan fokus menyelesaikannya, dengan cara memaksimalkan fungsinya sebagai anggota dewan.
Masyarakat sebenarnya sudah tidak tertarik dengan berbagai kalimat manis yang tertulis pada banner di sepanjang jalan, seperti “siap jungkir balik membela kepantingan rakyat”, atau “amanah, bersih, tidak korupsi”.
Kata-kata tersebut sangat klise. terlalu memposisikan diri sebagai orang suci. Padahal, yang dibutuhkan oleh rakyat adalah program SMART, yaitu specific, measurable( terukur), achievable (diterima), realistic (masuk akal), dan timebound (ada batas waktu).
*Penulis adalah seorang pemerhati desa, tinggal di Kota Batu, Jawa Timur. Lihat Facebook >> Rosihan
0 komentar:
Post a Comment