Umat Hindu Dharma Nganjuk melakukan pawai sejauh sekitar 5 KM, dari Pura Kerta Buwana Giri Wilis menuju Air Terjun Roro Kuning, untuk melakukan ritual Melasti, Minggu 3 Maret 2019 (ist) |
Ahad 3 Maret 2019
by Panji Lanang Satriadin
matakamera, Nganjuk - Pura Kerta Buwana Giri Wilis tak ubahnya seperti bangunan-bangunan peribadatan umat Hindu lainnya di tanah air. Arsitekturnya kental dengan aroma Bali.
Hanya saja, pura ini tidak berada di Pulau Dewata. Bukan pula berdiri di tengah keramaian kota atau kawasan pesisir pantai. Melainkan, di ketinggian lereng Gunung Wilis, Dusun Semanding, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Nganjuk, Jawa Timur.
Selama berabad-abad, kawasan hutan di sisi selatan Kabupaten Nganjuk itu menjadi 'benteng terakhir' warisan Hindu era Majapahit. Di sudut kampung maupun di sekitar gerbang utama pura agung, aroma dupa sembahyang terasa menyengat.
Masyarakat Dusun Semanding sebagian besar memang beragama Hindu. Kurang lebih 90 persen masyarakatnya memeluk agama yang sudah ada sejak zaman Mataram kuno hingga Majapahit itu. “Memang di sini adalah kampung Hindu. Ada lebih dari 100 KK (kepala keluarga, red) atau ratusan masyarakat yang beragama Hindu, “ tutur Mangku Damri, pemuka agama Hindu di dusun setempat.
Keberadaannya disebut-sebut sudah ada sejak abad ke-15. Damri dan warga Hindu setempat meyakini, bahwa mereka adalah anak keturunan masyarakat Hindu Majapahit.
Damri menceritakan, di kawasan puncak Gunung Wilis sampai saat ini masih banyak tersimpan candi dan prasasti yang menjadi bukti sejarah tersebut. Bahkan, setiap tahunnya masih dikunjungi umat Hindu dari berbagai daerah, termasuk Bali untuk berziarah dan berdoa. Apalagi, umat Hindu Jawa sejak dahulu sudah menganggap Gunung Wilis sebagai penjelmaan Gunung Suci Mahameru.
Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, perlahan-lahan umat Hindu menyebar dan berpindah agama. Kendati demikian, adat tradisi Hindu di Semanding tetap terpelihara sampai hari ini.
Ringkasnya, perkampungan Hindu di Gunung Wilis ini sudah bertahan selama 7 abad. Secara turun-temurun mereka tetap tinggal dan melestarikan budaya maupun agama Hindu. “Ketika hari besar agama Hindu, kami secara bersama-sama merayakannya” ucap Damri.
Contohnya, menjelang hari raya Nyepi, Tahun Baru saka 1941, yang jatuh pada Kamis 7 Maret 2019 nanti.
Rangkaian peringatannya dimulai Minggu 3 Maret 2019, di mana ratusan umat Hindu Semanding dipimpin Damri melakukan ritual Melasti.
Upacara Melasti dilakukan dengan menggelar arak-arakan sejauh sekitar 5 kilometer, doa bersama, hingga melarung aneka sesaji hasil bumi dan ternak, di sumber mata air Gunung Wilis yang ada di Air Terjun Roro Kuning, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret. “Penyucian diri dan lingkungan sebelum kami melakukan ibadah utama Catur Brata Nyepi,” pungkas Damri.
0 komentar:
Post a Comment