Foto dokumentasi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo |
nilai (PPN). Khususnya pengenaan PPN pada komoditas sembako. Banyak pihak menilai wacana ini merugikan masyarakat kecil yang miskin, tapi ringankan yang kaya.
Dilansir detik.com (11/6), rencana ini tertuang dalam draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam pasal 4A, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dihapus dalam RUU KUP sebagai barang yang tidak dikenakan PPN. Dengan kata lain, sembako akan dikenakan PPN.
Dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, jenis barang kebutuhan pokok yang dimaksud, yakni beras dan gabah,jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan ubi-ubian.
Ekonom pun menolak wacana ini, Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan perluasan objek PPN ke bahan pangan akan sangat berisiko. Pasalnya hal ini bisa menaikkan harga pada barang kebutuhan pokok dan mendorong inflasi, dan menurunkan daya beli masyarakat.
Bhima juga menilai wacana ini tidak sejalan dengan upaya untuk pemulihan ekonomi. Apalagi, wacana ini dibarengi oleh rencana pencabutan subsidi lainnya dari subsidi listrik, pengurangan bansos.
Imbasnya bukan saja memperlambat pemulihan pertumbuhan ekonomi, menurut Bhima wacana ini bisa mendorong naiknya angka kemiskinan
"Sebanyak 73% kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah," ungkap Bhima, Kamis (10/6).
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet juga berpendapat kenaikan PPN bisa mengganggu upaya pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat. Sebab, meskipun kenaikan PPN hanya 2%, dari 10% menjadi 12%, bagi kelas menengah ke bawah dampaknya bisa signifikan.
"Itu (pengenaan PPN) sebenarnya bisa berdampak signifikan gitu terhadap daya beli mereka, terhadap kemampuan konsumsi mereka. Apalagi sebenarnya tidak ada jaminan tahun depan misalnya pemerintah bisa mengembalikan kondisi perekonomian seperti sebelum terjadinya pandemi," papar Rendy.
Sementara itu, dilansir Tempo.co (12/6) Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, menjelaskan ihwal draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Penjelasan ini disampaikan di antaranya merespons ramainya pemberitaan soal rencana pengenaan PPN Sembako belakangan ini.
Prastowo menjelaskan, di Pasal 4A beleid tersebut, bahan kebutuhan pokok atau sembako akan dikeluarkan dari barang-barang yang dikecualikan dari pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Adanya revisi pasal tentang barang kena pajak atau BKP ini tak berarti membuat pemerintah serta-merta akan mengenakan tarif pajak untuk sembako.
Apalagi untuk bahan-bahan pokok yang dijual di pasar guna memenuhi kebutuhan hidup orang banyak. “Menjadi barang kena pajak tidak lantas berarti dia dikenai pajak,” ujar Prastowo dalam diskusi bersama Trijaya FM, Sabtu, 12 Juni 2021.
Prastowo menjelaskan, klausul itu akan memberikan ruang pengenaan pajak hanya untuk bahan-bahan dasar premium, seperti beras premium, telur premium, dan daging impor. Upaya ini dilakukan guna memenuhi asas keadilan.
Musababnya selama ini, barang-barang seperti daging wagyu yang dijual di supermarket tidak dipungut pajak, sama dengan daging segar yang dijual di pasar.
Menurut Prastowo, pemerintah ingin mendesain agar RUU yang mengatur perpajakan lebih komprehensif. Lewat skema penerapan PPN yang bersifat multitarif, kebijakan tersebut memungkinkan barang-barang kebutuhan yang dikonsumsi kelompok atas dikenakan pajak lebih besar, misalnya 15-20 persen.
Namun realisasinya tidak akan dilakukan bila masa krisis pandemi Covid-19 masih terus berlangsung. “Kelak ketika ekonomi membaik, daya beli meningkat, lalu akan dikenai (PPN), ruangnya sudah ada. Jadi tidak perlu dibuat undang-udang lagi,” ujarnya.
Prastowo menampik bila pemerintah mengusulkan revisi klausul pajak sembako ini untuk menutup defisit APBN. Ia memastikan saat ini anggaran pemerintah masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ia pun menyebut spekulasi yang beredar di masyarakat tentang pengenaan PPN sembako miskomunikasi. Musababnya, draf RUU KUP kadung bocor dan poin-poin di dalamnya beredar sepotong-sepotong.
Lebih lanjut, Prastowo mengungkapkan pemerintah tidak ada niat untuk membebani rakyat, misalnya dengan memungut PPN Sembako. “Kami harus akui fakta bahwa kita harus punya anitisipasi ke depannya. APBN ini harus jadi instrumen, termasuk pajak kita siapkan ke depannya,” ujar Prastowo.
Dilansir detik.com (11/6), rencana ini tertuang dalam draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam pasal 4A, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dihapus dalam RUU KUP sebagai barang yang tidak dikenakan PPN. Dengan kata lain, sembako akan dikenakan PPN.
Dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, jenis barang kebutuhan pokok yang dimaksud, yakni beras dan gabah,jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan ubi-ubian.
Ekonom pun menolak wacana ini, Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan perluasan objek PPN ke bahan pangan akan sangat berisiko. Pasalnya hal ini bisa menaikkan harga pada barang kebutuhan pokok dan mendorong inflasi, dan menurunkan daya beli masyarakat.
Bhima juga menilai wacana ini tidak sejalan dengan upaya untuk pemulihan ekonomi. Apalagi, wacana ini dibarengi oleh rencana pencabutan subsidi lainnya dari subsidi listrik, pengurangan bansos.
Imbasnya bukan saja memperlambat pemulihan pertumbuhan ekonomi, menurut Bhima wacana ini bisa mendorong naiknya angka kemiskinan
"Sebanyak 73% kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah," ungkap Bhima, Kamis (10/6).
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet juga berpendapat kenaikan PPN bisa mengganggu upaya pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat. Sebab, meskipun kenaikan PPN hanya 2%, dari 10% menjadi 12%, bagi kelas menengah ke bawah dampaknya bisa signifikan.
"Itu (pengenaan PPN) sebenarnya bisa berdampak signifikan gitu terhadap daya beli mereka, terhadap kemampuan konsumsi mereka. Apalagi sebenarnya tidak ada jaminan tahun depan misalnya pemerintah bisa mengembalikan kondisi perekonomian seperti sebelum terjadinya pandemi," papar Rendy.
Sementara itu, dilansir Tempo.co (12/6) Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, menjelaskan ihwal draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Penjelasan ini disampaikan di antaranya merespons ramainya pemberitaan soal rencana pengenaan PPN Sembako belakangan ini.
Prastowo menjelaskan, di Pasal 4A beleid tersebut, bahan kebutuhan pokok atau sembako akan dikeluarkan dari barang-barang yang dikecualikan dari pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Adanya revisi pasal tentang barang kena pajak atau BKP ini tak berarti membuat pemerintah serta-merta akan mengenakan tarif pajak untuk sembako.
Apalagi untuk bahan-bahan pokok yang dijual di pasar guna memenuhi kebutuhan hidup orang banyak. “Menjadi barang kena pajak tidak lantas berarti dia dikenai pajak,” ujar Prastowo dalam diskusi bersama Trijaya FM, Sabtu, 12 Juni 2021.
Prastowo menjelaskan, klausul itu akan memberikan ruang pengenaan pajak hanya untuk bahan-bahan dasar premium, seperti beras premium, telur premium, dan daging impor. Upaya ini dilakukan guna memenuhi asas keadilan.
Musababnya selama ini, barang-barang seperti daging wagyu yang dijual di supermarket tidak dipungut pajak, sama dengan daging segar yang dijual di pasar.
Menurut Prastowo, pemerintah ingin mendesain agar RUU yang mengatur perpajakan lebih komprehensif. Lewat skema penerapan PPN yang bersifat multitarif, kebijakan tersebut memungkinkan barang-barang kebutuhan yang dikonsumsi kelompok atas dikenakan pajak lebih besar, misalnya 15-20 persen.
Namun realisasinya tidak akan dilakukan bila masa krisis pandemi Covid-19 masih terus berlangsung. “Kelak ketika ekonomi membaik, daya beli meningkat, lalu akan dikenai (PPN), ruangnya sudah ada. Jadi tidak perlu dibuat undang-udang lagi,” ujarnya.
Prastowo menampik bila pemerintah mengusulkan revisi klausul pajak sembako ini untuk menutup defisit APBN. Ia memastikan saat ini anggaran pemerintah masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ia pun menyebut spekulasi yang beredar di masyarakat tentang pengenaan PPN sembako miskomunikasi. Musababnya, draf RUU KUP kadung bocor dan poin-poin di dalamnya beredar sepotong-sepotong.
Lebih lanjut, Prastowo mengungkapkan pemerintah tidak ada niat untuk membebani rakyat, misalnya dengan memungut PPN Sembako. “Kami harus akui fakta bahwa kita harus punya anitisipasi ke depannya. APBN ini harus jadi instrumen, termasuk pajak kita siapkan ke depannya,” ujar Prastowo.
Nah pembaca, bagaimana menurut Anda dengan rencana pemerintah tersebut?
Panji Lanang S
0 komentar:
Post a Comment