Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H.,M.Hum., M.Sc, Direktur LKHP Indonesia |
Sebagaimana amar Pasal 213 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Norma hukum di atas senafas dengan Peraturan Bupati (Perbup) Nganjuk Nomor 6 Tahun 2022 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi, serta Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Nganjuk.
Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H.,M.Hum., M.Sc,
Direktur LKHP Indonesia mengatakan, bahwa mengingat jabatan Sekda memiliki peran penting dan strategis dalam struktur organisasi tata pemerintahan, maka memilih calon Sekda bukanlah hal yang mudah.
Kepentingan relasi politik dan relasi oligarki harus dikesampingkan jauh demi terbangunnya tata pemerintahan yang melayani masyarakat. Adanya relasi politik sering menjadi varibel dominan dalam memilih seorang calon Sekda," ujar DR Wahju.
Bila ini terwujud, lanjut Wahju, maka dapat diprediksi Sekda akan lebih banyak melayani kepentingan politik daripada kepentingan masyarakat.
"Sebagai koordinator sistem pelayanan masyarakat, seorang Sekda semestinya berperan sebagai motivator, evaluator dan koordinator kinerja semua organisasi perangkat daerah (OPD) yang dipimpinnya," imbuh Wahju.
Resiko lain yang tidak kalah bahayanya dan harus dihindari, kata Wahju, adalah bila seorang calon Sekda tersebut ternyata memiliki relasi yang kuat dengan oligarki.
"Oligarki akan merusak sistem birokrasi yang sudah lama terbangun. Oligarki juga akan mendistorsi prinsip kesetaraan, keseimbangan dalam pelayanan masyarakat," kata Wahju lagi.
Di samping itu, lanjutnya, oligarki berpotensi membawa pemerintah daerah terjebak dalam perangkap “Pemda Capture Coruption“, yakni korupsi sistemik dan banalitas yang melibatkan kepentingan swasta ikut campur dalam pengambilan kebijakan pembangunan/politik/keuangan.
Selain itu, oligarki akan mereduksi kualitas pelayanan kepentingan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Sekda yang memiliki relasi dengan oligarki, sudah barang tentu dalam masa jabatannya yang bersangkutan akan berkewajiban juga melayani oligarki. Inilah yang bisa menjadi embrio tumbuh suburnya penyakit birokrasi (bureaupatology), mulai dari maladministrasi hingga korupsi.
Lebih lanjut DR Wahju mengatakan, seleksi terbuka pengisian jabatan Sekda ini dimulai dari reposisi Drs. M. Yasin, M.Si. dari jabatannya semula sebagai Sekda Kabupaten Nganjuk menjadi Inspektur Daerah Kabupaten Nganjuk.
Dalam logika awam saja, tentunya calon Sekda yang diharapkan nantinya harus melebihi kredibilitas, kapabilitas, loyalitas dan kemampuan manajerial pengelolaan hardware, software, groupware, brainware dan systemware dari mantan Sekda tersebut.
Ekpektasi publik ini, tentulah tidak berlebihan, karena bila kinerja Sekdanya buruk, maka multiplying effect-nya akan sangat besar pada ujung pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, sudah semestinya para pihak yang terlibat dalam proses seleksi calon Sekda membebaskan diri jauh-jauh dari ego sektoral dan ego pribadi. Ini saatnya, manajemen tata kelola pemerintahan diarahkan kepada paradigma servant leadership (manajemen yang melayanani masyarakat/pimpinan yang melayani bawahan), bukan sebaliknya, yakni yang berparadigma asok glondong pengareng-areng. Paradigma yang terakhir ini sangat beresiko tinggi terhadap kualitas pelayanan masyarakat serta kemungkinan munculnya resiko hukum yang sangat serius.
Sebagai catatan, menurut Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 15 Tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah, disebutkan aturan atau tata cara seleksi pengisian jabatan pimpinan tinggi secara rinci, mulai tahapan persiapan, pelaksanaan, sampai tahap monitoring dan evaluasi.
"Merujuk petunjuk teknis di atas, bahwa pengumunan lowongan jabatan pimpinan tinggi dilaksanakan paling singkat 15 hari (lima belas) hari kalender sebelum batas akhir tanggal penerimaan lamaran. Akan tetapi pada pengumunan seleksi terbuka pengisian jabatan tinggi pratama di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Nganjuk tahun 2022 ini, cuma diberi waktu 7 (tujuh) hari saja. Berarti tenggang waktu tersebut tidak sesuai dengan petunjuk teknis yang ada," tukas DR Wahju.
Nji/Nji
Resiko lain yang tidak kalah bahayanya dan harus dihindari, kata Wahju, adalah bila seorang calon Sekda tersebut ternyata memiliki relasi yang kuat dengan oligarki.
"Oligarki akan merusak sistem birokrasi yang sudah lama terbangun. Oligarki juga akan mendistorsi prinsip kesetaraan, keseimbangan dalam pelayanan masyarakat," kata Wahju lagi.
Di samping itu, lanjutnya, oligarki berpotensi membawa pemerintah daerah terjebak dalam perangkap “Pemda Capture Coruption“, yakni korupsi sistemik dan banalitas yang melibatkan kepentingan swasta ikut campur dalam pengambilan kebijakan pembangunan/politik/keuangan.
Selain itu, oligarki akan mereduksi kualitas pelayanan kepentingan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Sekda yang memiliki relasi dengan oligarki, sudah barang tentu dalam masa jabatannya yang bersangkutan akan berkewajiban juga melayani oligarki. Inilah yang bisa menjadi embrio tumbuh suburnya penyakit birokrasi (bureaupatology), mulai dari maladministrasi hingga korupsi.
Lebih lanjut DR Wahju mengatakan, seleksi terbuka pengisian jabatan Sekda ini dimulai dari reposisi Drs. M. Yasin, M.Si. dari jabatannya semula sebagai Sekda Kabupaten Nganjuk menjadi Inspektur Daerah Kabupaten Nganjuk.
Dalam logika awam saja, tentunya calon Sekda yang diharapkan nantinya harus melebihi kredibilitas, kapabilitas, loyalitas dan kemampuan manajerial pengelolaan hardware, software, groupware, brainware dan systemware dari mantan Sekda tersebut.
Ekpektasi publik ini, tentulah tidak berlebihan, karena bila kinerja Sekdanya buruk, maka multiplying effect-nya akan sangat besar pada ujung pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, sudah semestinya para pihak yang terlibat dalam proses seleksi calon Sekda membebaskan diri jauh-jauh dari ego sektoral dan ego pribadi. Ini saatnya, manajemen tata kelola pemerintahan diarahkan kepada paradigma servant leadership (manajemen yang melayanani masyarakat/pimpinan yang melayani bawahan), bukan sebaliknya, yakni yang berparadigma asok glondong pengareng-areng. Paradigma yang terakhir ini sangat beresiko tinggi terhadap kualitas pelayanan masyarakat serta kemungkinan munculnya resiko hukum yang sangat serius.
Sebagai catatan, menurut Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 15 Tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah, disebutkan aturan atau tata cara seleksi pengisian jabatan pimpinan tinggi secara rinci, mulai tahapan persiapan, pelaksanaan, sampai tahap monitoring dan evaluasi.
"Merujuk petunjuk teknis di atas, bahwa pengumunan lowongan jabatan pimpinan tinggi dilaksanakan paling singkat 15 hari (lima belas) hari kalender sebelum batas akhir tanggal penerimaan lamaran. Akan tetapi pada pengumunan seleksi terbuka pengisian jabatan tinggi pratama di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Nganjuk tahun 2022 ini, cuma diberi waktu 7 (tujuh) hari saja. Berarti tenggang waktu tersebut tidak sesuai dengan petunjuk teknis yang ada," tukas DR Wahju.
Nji/Nji
0 komentar:
Post a Comment