DR Wahju Prijo Djatmiko, SH, M.Hum, M.Sc, Direktur LKHP Indonesia |
Direktur LKHP Indonesia sekaligus praktisi hukum Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc menyampaikan, sebagai koordinator sistem pelayanan masyarakat, seorang sekda berperan selaku motivator, evaluator dan koordinator kinerja semua organisasi PD yang dipimpinnya. Pada pokoknya, yang bersangkutan diharapkan dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana amanat regulasi yang ada.
Seperti diketahui, beberapa bulan belakangan sejak diselenggarakan Seleksi Terbuka Pengisian Jabatan Sekda, masyarakat Nganjuk memberikan atensi besar terhadap siapa yang akan menempati posisi jabatan strategis tersebut. Dengan proses seleksi yang ketat dan berlapis, diharapkan Sekda yang terpilih merupakan figur yang tepat dan mumpuni serta sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan dalam mengemban tugas jabatannya.
Pada hari senin (19/12/2022), Plt. Bupati Nganjuk Dr. Drs. H. Marhaen Djumadi, S.E., S.H., M.M., M.BA resmi melantik Drs. Nur Solekan, M.Si sebagai Sekda Kabupaten Nganjuk. Lebih lanjut, praktisi hukum alumni UNDIP tersebut, berharap birokrasi Pemda Kabupaten Nganjuk ke depan akan lebih baik serta jauh dari kemungkinan tumbuh suburnya penyakit birokrasi (bureaupathology) dan praktik oligarki seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan selama ini. Dengan dilantiknya pejabat pimpinan tinggi pratama yang baru ini, diharapkan yang bersangkutan mampu menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab dan dapat memenuhi harapan masyarakat akan peningkatan kualitas pelayanan publik.
“di bawah kendali Pak Solekan, diharapkan beliau dapat mengkoordinir semua OPD yang ada dan mengerahkan segala kemampuan untuk menghasilkan kolaborasi yang efektif dan efisien dalam membangun Kabupaten Nganjuk kedepannya” harapnya.
Lebih lanjut, Wahju menghimbau agar Sekda terpilih ini harus sangat komunikatif dan tidak elitis. Komunikatif menurutnya merupakan kunci utama dalam mensosialisasikan kebijakan maupun langkah-langkah yang diambil untuk peningkatan pelayanan masyarakat. Kemampuan berdialektika dengan baik juga sangat diperlukan, demi terciptanya sinergitas antara eksekutif dengan legislatif dan dengan semua elemen pendukung (forkopimda, LSM, media, tokoh masyarakat, tokoh agama dan lain-lain) serta mampu menterjemahkan kebijakan KD agar bisa direalisasikan oleh dinas dan instansi terkait.
Sedangkan elitis dimaknai bahwa sang sekda dalam menjalankan tupoksinya mudah dihubungi dan ditemui oleh masyarakat yang membutuhkannya dengan tanpa sekat. “Saat ini, dibutuhkan pejabat yang tidak elitis, tidak lantas merasa berhak melangit dan hidup di menara gading, tetapi justru sebaliknya, harus tetap membumi dan berparadigma kepemimpinan “servant leadership.”” ujar Wahju.
Lebih jauh, seorang sekda harus waspada dan berhati-hati akan risiko dan bahaya oligarki karena “pemicu korupsi ini” berpotensi membawa pemerintah daerah terjebak dalam perangkap “Pemda Captured Corruption” yakni korupsi sistemik dan bersifat banalitas dalam pengambilan kebijakan pembangunan/ politik/keuangan di Pemda.
Rif/Nji
0 komentar:
Post a Comment