Direktur LKHPI Dr Wahju Prijo Djatmiko SH, M.Hum, M.Sc |
Di saat yang sama, atensi masyarakat luas mengarah kepada kedudukan Pelaksana tugas (Plt) Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi, yang semestinya segera dilantik dan disahkan sebagai bupati definitif. Mengingat, kedudukan dan peran jabatan Plt berbeda dengan jabatan bupati.
Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Perburuhan Indonesia (LKHPI) Dr Wahju Prijo Djatmiko SH, M.Hum, M.Sc, mengatakan, Plt sifatnya hanya menjalankan mandat. Wewenang Marhaen hanya sebatas meneruskan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pejabat definitif sebelumnya.
Plt menurut Dr Wahju tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang strategis sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (7) Undang-undang (UU) No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terakhir diubah dengan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Secara yuridis formal, pengangkatan dan pengesahan Marhaen diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU," ujar Dr Wahju.
Dalam hal Bupati berhenti menjabat karena diberhentikan, lanjut Dr Wahju, maka jabatan Bupati digantikan oleh Wakil Bupati, hal tersebut selaras dengan Pasal 173 ayat (1) UU tersebut. Secara teknispun juga dijelaskan dalam norma a quo tepatnya pada Pasal 173 ayat (4) yakni dengan cara DPRD menyampaikan usulan pengangkatan dan pengesahan Wakil Bupati menjadi Bupati kepada Menteri melalui Gubernur untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati.
Adapun persoalannya adalah sampai saat ini SK Pemberhentian Bupati Novi belum juga turun. Padahal perkara Kasasi Nomor 6017 K/PID.SUS/2022 telah ditolak oleh Mahkamah Agung.
Dengan demikian, Novi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana penjara selama 4 Tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp 200 juta. Konsekuensi yuridisnya Novi wajib diberhentikan sebagai Bupati Nganjuk, sebagaimana amar Pasal 78 ayat (2) huruf b UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 80 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah, pihak yang memiliki kewenangan memberhentikan Bupati adalah Mendagri. Kewajiban memberhentikan Bupati paling lambat 30 hari sejak Menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD.
Atas alasan ini, Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. selaku direktur Lembaga Kajian Hukum Perburuhan Indonesia (LKHPI) yang merupakan wadah aspirasi masyarakat pada tanggal 21 Februari 2023 menyurati Mendagri yang pada pokoknya meminta kejelasan status bupati Nganjuk, Novi. Adapun semangat dari surat tersebut tidak lain demi terciptanya asas kepastian dan kemanfaatan hukum terkait jabatan bupati definitif Kabupaten Nganjuk terhadap masyarakat Nganjuk.
Kekosongan jabatan bupati ini seyogyanya tidak boleh berlarut-larut, meskipun sudah adanya Plt bupati, namun kewenangan Plt yang terbatas dapat melambatkan roda perkembangan Kabupaten Nganjuk.
"Dengan segeranya Pak Marhaen dilantik sebagai Bupati definitif, dapat menghidupkan kembali kepercayaan masyarakat dengan keputusan-keputusan strategisnya untuk mengejar ketertinggalan perkembangan maupun pembangunan Kabupaten Nganjuk," lanjut Wahju.
Mengingat jabatan Marhaen hanya sampai bulan September sebagai kepala daerah dan akan digantikan Pejabat (PJ) bupati. Kewenangan Pj Bupati juga hanya sebatas melanjutkan program pemerintah definitif sebelumnya.
Rif/Nji
0 komentar:
Post a Comment