Direktur LHKPI Dr Wahju Prijo Djatmiko SH, M.Hum, M.Sc. |
Proyek yang biayanya bersumber dari APBN itu menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Di mana, dikerjakan oleh CV Danurwenda selaku penyedia jasa dan CV Progres Consultant sebagai konsultan pengawasnya.
Pembangunan fasilitas publik tersebut, dimulai pada 11 Juli 2022 dan direncanakan selesai pada 22 Desember 2022, dengan masa pelaksanaan 165 hari kalender.
Sayangnya, proyek tersebut belum selesai hingga melebihi anggaran tahun 2022.
Masyarakat luas mempersoalkan adanya dugaan pembayaran lunas dan pelaporan proyek selesai, padahal faktanya proyek baru rampung sebesar 70 persen.
Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Perburuhan Indonesia (LHKPI) DR Wahju Prijo Djatmiko SH, M.Hum, M.Sc, mengatakan, pada dasarnya untuk keterlambatan penyelesaian proyek di era pandemi yang melebihi tahun anggaran sudah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) RI nomor 189/PMK.05/2022, Tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran 2022 dan Akan dilanjutkan pada Tahun Anggaran 2023.
"Pada pokoknya norma tersebut menyatakan apabila berdasarkan penelitian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sisa pekerjaan yang tidak selesai pada akhir tahun anggaran 2022 dapat dilanjutkan penyelesaiannya pada tahun 2023 dengan syarat dan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 a quo," jelas DR Wahju.
Adapun syarat dan ketentuan tersebut antara lain, penyedia barang/jasa yakin menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 90 hari kalender dan membuat Surat Pernyataan Kesanggupan.
"Dengan demikian, penggunaan legal back up berupa Surat Edaran (SE) Bupati Nganjuk No. 900/4256/411.402/2022 tentang Langkah-Langkah dalam Menghadapi Akhir TA. 2022 adalah kurang tepat karena SE bukan merupakan produk hukum, itu tak lebih sekadar himbauan saja," ujar Wahju.
Untuk menyikapi terjadinya kasus serupa terhadap proyek-proyek Pemerintah Daerah (Pemda) yang bersumber dari APBD, lanjut Wahju, pihak Pemda bisa menyiapkan sarana hukum berupa Peraturan Bupati (Perbup) dengan catatan produk hukum tersebut harmonis secara vertikal dengan peraturan perundangan-undangan yang ada diatasnya. SE tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.
Sedangkan dari perspektif tindak pidana korupsi, menurut DR Wahju hal tersebut belum bisa dipersepsikan adanya perbuatan koruptif karena proyek dalam fase masa perawatan. Adanya sisa pembangunan proyek yang belum selesai sebesar 30 persen, penyedia jasa wajib menyerahkan jaminan pada bank (i.e.Bank Jatim) sesuai amanat Pasal 25 Peraturan Presiden (Perpres) No.16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa yang telah diubah dengan Perpres No. 12 Tahun 2021.
"Di sisi lain, terkait dengan keterlambatan penyerahan proyek, maka penyedia barang/jasa tetap dikenakan denda berdasarkan Pasal 79 ayat (4) Perpres No.16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa tersebut," terang Wahju.
Ke depannya, lanjut Wahju, guna menyiasati tidak terulangnya keterlambatan pelaksanaan dan penyerahan proyek pengadaan barang/jasa pemerintah, sebenarnya Pemda dapat memulai pelaksanaan proyek di awal-awal tahun. Pelaksanaan proyek yang terlalu pendek masa pengerjaaannya beresiko terhadap kemungkinan adanya rendahnya kualitas pengerjaan yang sudah barang tentu berakibat terhadap value for money uang negara dan nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.
Sedangkan adanya kesalahan dalam pelaporan selesainya proyek yang senyatanya belum selesai, dapat diterjemahkan sebagai tindakan maladministrasi yang hal tersebut tidak perlu terulang lagi.
"Sebagai saran sebaiknya pembangunan fasilitas umum tersebut dilengkapi dengan pagar keliling yang tinggi serta kelengkapan CCTV untuk memastikan agar aset berharga di dalam “rumah pintar” kebanggaan masyarakat Nganjuk tersebut tidak berpotensi hilang," pungkas DR Wahju.
Rif/Nji
0 komentar:
Post a Comment