Rabu 11 Desember 2024NGANJUK, matakamera.net - Bahwa terhitung hingga 11 Desember 2024, ada 240 Gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun dari gugatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 2 permohonan sengketa pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 194 permohonan sengketa pemilihan bupati dan wakil bupati, dan 44 sengketa pemilihan wali kota dan wakilnya. Jumlah tersebut kemungkinan masih akan bertambah hingga batas akhir pengajuan pada 11 Desember 2024 pukul 00.00 WIB.
Menurut pemerhati masalah hukum Dr. Wahju Prijo Djatmiko, bahwa gugatan PHPKada secara historis dapat digambarkan sebagai berikut:
“Bahwa dari hasil rekapitulasi perkara terkait PHPKada yang pernah masuk di MK menunjukkan bahwa tidak banyak gugatan yang dapat dikabulkan oleh MK. Sejumlah 495 perkara ditolak, 509 tidak dapat diterima, 35 ditarik kembali, 7 gugur, 7 tidak berwenang, dan hanya 83 yang dapat dikabulkan," ujar Dr Wahju.
Menurut alumnus PDIH UNDIP Semarang tersebut, bahwa gugatan ditolak apabila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya. Kemudian, terkait gugatan tidak dapat diterima, terjadi karena adanya berbagai cacat formil yang melekat pada gugatan. Dalam hal objek gugatan dinilai oleh Majelis tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima. Sedangkan dalam hal penggugat tidak hadir pada sidang pertama tanpa alasan yang sah, maka gugatan dinyatakan gugur.
Selanjutnya, tokoh yang dikenal luas dengan Kaji Wahju ini menambahkan bahwa syarat untuk mengajukan gugatan PHPKada ke MK ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 157 ayat (5). Ius constitutum ini mengamarkan bahwa peserta pemilihan mengajukan permohonan kepada MK paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Kada oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Sementara itu, MK memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilu Kada paling lama 45 hari kerja sejak diterimanya permohonan dari peserta pemilihan. Perlu diketahui, pengajuan permohonan gugatan hasil Pemilu Kada harus dilengkapi alat atau dokumen bukti pelanggaran dan keputusan KPU provinsi atau kabupaten/kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.
Namun, apabila alat bukti kurang lengkap, para pemohon yang mengajukan gugatan dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan oleh MK.
Pada awalnya putusan tentang perselisihan hasil Pemilu Kada didasarkan atas bukti surat atau tulisan khususnya yang dikeluarkan oleh penyelenggara Pemilu maupun pengawas Pemilu sebagai dasar untuk menilai kekuatan pembuktian suatu permohonan. Penilaian MK hanya berpijak pada formalitas alat bukti surat atau tulisan, sebagaimana petunjuk Pasal 36 ayat (1) UU MK juncto Pasal 9 Peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK 15/2008). Norma ini menyatakan bahwa alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilukada dapat berupa: a. Keterangan para pihak; b. Surat atau tulisan; c. Keterangan saksi; d. Keterangan ahli; e. Petunjuk; dan f. Alat bukti lain berupa informasi dan/atau komunikasi elektronik.
Dalam perkembangannya, keterangan saksi dan bukti surat atau tulisan lainnya dikaitkan dengan proses Pemilu. Hal ini merupakan satu kesatuan untuk sampai pada kesimpulan dalam menilai suatu realitas fakta hukum yang terjadi. Penilaian atas keseluruhan fakta-fakta hukum yang didapatkan dalam persidangan melalui keterangan saksi-saksi maupun alat-alat bukti berupa surat atau tulisan yang diajukan para pihak inilah yang akan memberi keyakinan kepada hakim bahwa telah terbukti
Secara sah dan meyakinkan terjadinya pelanggaran pelaksanaan Pemilu Kada yang berpengaruh secara signifikan terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon.
Adapun menurut Indah Kurnia Oktasari, S.H., dan Nadhila Qisthy Nur Shabrina, S.H., peneliti LKHP Indonesia mengatakan bahwa tujuan pembuktian dalam perkara konstitusi adalah untuk memberi kepastian akan kebenaran secara materiil adanya fakta hukum, peristiwa hukum, dan hukum sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.
Bahwa Majelis Hakim MK memutus perkara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan mereka. Sedangkan untuk sahnya beban pembuktian dan penilaian pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Masih menurut mereka, alat-alat bukti yang diajukan ke peradilan MK, baik yang diajukan oleh pemohon maupun yang diajukan oleh termohon dan/atau pihak terkait, perolehannya atau cara mendapatkannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (legally obtained evidence). Oleh karena itu, setiap pemohon dan/atau pihak lainnya mengajukan alat bukti kepada hakim konstitusi, selalu diperiksa cara memperoleh atau mendapatkan alat bukti tersebut. Untuk alat bukti dari pemohon, biasanya dilakukan dalam sidang pendahuluan.
Di akhir wawancara doktor ilmu Hukum Pidana yang sekaligus menjabat sebagai Wakil Ketua MAHUPIKI (Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia) Jawa Timur ini menegaskan bahwa alat bukti pada sistem peradilan di MK sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 ada perbedaan dengan alat bukti dalam peradilan PTUN, Perdata dan Pidana.
Dalam peradilan di MK, tidak dikenal alat bukti pengakuan para pihak. Pengakuan pihak yang berperkara dipandang tidak relevan dalam Hukum Acara Konstitusi. Adalah kewajiban hakim konstitusi mencari kebenaran mengingat perkara yang diperiksa dan akan diputus terkait dengan kepentingan umum dan akan mengikat semua warga negara, bukan hanya pihak yang berperkara.
MK tidak hanya menggunakan pendekatan secara normatif atau prosedural (prosedural justice) namun lebih kepada penggunaan pendekatan substansial (substantive justice).
Pendekatan substansial lebih dikedepankan seiring dengan pendirian MK yang tidak hanya sekadar mempersoalkan kuantitas Pemilu Kada, namun lebih kepada kualitas Pemilu Kada sehingga harus menilai proses yang terjadi dalam Pemilu Kada tersebut (judicial process).
Rif/Pas/2024
MK tidak hanya menggunakan pendekatan secara normatif atau prosedural (prosedural justice) namun lebih kepada penggunaan pendekatan substansial (substantive justice).
Pendekatan substansial lebih dikedepankan seiring dengan pendirian MK yang tidak hanya sekadar mempersoalkan kuantitas Pemilu Kada, namun lebih kepada kualitas Pemilu Kada sehingga harus menilai proses yang terjadi dalam Pemilu Kada tersebut (judicial process).
Rif/Pas/2024
0 komentar:
Post a Comment